Demam piala dunia sudah berlalu, namun aku memiliki
sebuah cerita dewasa yang tidak begitu saja aku bisa lupakan. Kuakui memang
diriku ini adalah cewek binal, yang selalu merindukan dekapan para pria
disetiap hasrat seksku yang lagi tinggi.
Seperti biasa, hari itu aku pulang dari kantor tepat
jam 5 sore. Setibanya di rumah, aku langsung menuju kamar tidurku lalu
bersiap-siap untuk mandi kemudian makan malam.
Setelah selesai makan, Winnie, adik perempuanku
mengingatkan bahwa Brazil, salah satu tim sepakbola favoritku, akan bertanding
melawan Portugal pada pukul 9 malam nanti.
“Masih lama nih bola-nya. Luluran dulu ah…” kataku
dalam hati sambil menuju kamar tidur.
Sebenarnya dulu aku bukanlah gadis yang terlalu
memperhatikan perawatan tubuh. Namun karena tuntutan dari pacarku, saat ini aku
mulai lebih sering merawat tubuh. Dari mulai menyabuninya dengan sabun khusus,
luluran dan lain-lain. Sekarang aku sudah bisa menuai hasil kerja kerasku
merawat tubuh. Kini aku mempunyai kulit yang lebih putih dan halus.
Setelah sekitar 1 jam aku luluran, terdengar
teriakan Winnie dari ruang TV “Teh! bolanya udah mau maen nih!!”
Kemudian aku memutuskan untuk segera keluar dari
kamar tidur dan menuju ruang TV. Aku sempat bingung karena di ruang TV aku
hanya melihat Winnie saja.
“Nie, Ayah nggak ada di rumah ya?” tanyaku.
“Ada di kamar kok Teh…” jawabnya singkat.
“Kok tumben sih? Biasanya si Ayah nggak mau
ketinggalan kalo lagi ada siaran Piala Dunia…” tanyaku lagi.
“Gak tau tuh. Ngantuk kali!” jawab Winnie cuek sambil
tetap memperhatikan layar TV.
Tak lama setelah aku duduk di sofa ruang TV,
pertandingan pun dimulai. Sebenarnya aku bukanlah penggemar fanatik sepakbola
seperti Ayah dan Winnie. Aku hanya mengikuti pertandingan beberapa tim saja,
seperti Brazil, Argentina dan juga Spanyol.
“Sayang banget Kaka nggak bisa main…” aku mengeluh
karena pemain idolaku tidak dapat bermain karena terkena hukuman kartu merah
pada pertandingan sebelumnya.
Tanpa terasa, babak pertama yang menegangkan
berakhir sudah. Mungkin karena tadi aku terlalu bersemangat dalam memberi
dukungan kepada Brazil, aku merasa bahwa udara di dalam rumah menjadi sangat
gerah. Akhirnya sambil menunggu babak kedua dimulai aku memutuskan untuk keluar
rumah.
“Nie, Teteh keluar dulu yah…” kataku kepada Winnie.
“Iya Teh. Tapi jangan lama-lama yah. Entar keburu
mulai bolanya…” kata Winnie mengingatkan.
“Iya. Sebentar aja kok. Abis gerah banget nih…” jawabku
sambil mengikat rambutku.
Akhirnya aku memutuskan untuk berjalan-jalan di
sekitar rumahku saja. Malam itu aku memakai baju yang tipis dan ketat berwarna
abu-abu serta celana pendek warna coklat. Karena tadinya aku tidak berniat
untuk keluar rumah, maka aku sengaja tidak memakai bra. Aku sempat
memperhatikan putingku tercetak cukup jelas di bajuku ini, tapi aku cuek saja
karena aku pikir hanya keluar sebentar dan tidak akan jauh-jauh dari rumah.
Setelah menutup pintu depan dan gerbang, aku pun mulai berkeliling di daerah
sekitar rumahku.
“Kok tumben ya sepi banget? Pasti karena lagi ada
bola deh…” pikirku karena tidak biasanya di daerah rumahku yang masih terhitung
daerah ‘perkampungan’ sudah terlihat sepi pada pukul 10 malam.
Tanpa terasa cukup jauh juga aku berjalan dari
rumahku hingga akhirnya aku sampai di sebuah pos jaga. Dari kejauhan aku dapat
melihat ada 4 orang Bapak-Bapak di dalam pos jaga tersebut. Karena penasaran,
aku kemudian berjalan mendekati pos jaga yang hanya diterangi oleh pencahayaan
seadanya. Ukurannya juga memang tidak terlalu besar, namun dapat untuk menampung
hingga 5-6 orang dewasa.
‘Tok… Tok… Tok…’ aku mengetuk tiang pos jaga
tersebut dengan cukup kencang supaya Bapak-Bapak itu dapat mendengar ketukanku.
“Permisi Bapak-Bapak…” kataku sopan sambil berdiri di
depan pintu.
“Eeh, ada Dik Tita…” jawab seorang Bapak yang posisi
duduknya paling dekat pintu.
Akhirnya aku dapat mengenali siapa saja yang sedang
berada di pos jaga tersebut. Bapak yang duduk paling ujung bernama Pak Wawan,
orangnya botak dan gendut tapi terkenal dengan keramahannya. Di sebelahnya
bernama Pak Diman, berbadan besar, berkulit hitam serta wajahnya menurutku
sangat jelek apalagi kepalanya ditumbuhi dengan rambut penuh uban. Lalu ada Pak
Jono, berkulit hitam dan memiliki badan paling kurus dibandingkan dengan yang
lainnya. Dan yang terakhir, bernama Pak Bara, kumisnya yang tebal menambah
kegarangan wajahnya yang sangar dan penuh luka. Aku maklum saja, karena dulu
Pak Bara adalah preman di daerah sini. Mereka semua adalah tetanggaku yang kutaksir
usianya kira-kira sama dengan ayahku.
“Dik Tita ngapain malem-malem keluar rumah?” sapa
Pak Wawan.
“Jalan-jalan aja Pak. Abis gerah banget di rumah…”
aku mengatakan hal tersebut sambil mengibas-ngibaskan leher bajuku.
“Emangnya Dik Tita nggak takut keluar rumah malem-malem
gini?” tanya Pak Bara.
“Kan ada Bapak-Bapak. Jadi saya bisa tenang deh…”
jawabku sambil tersenyum.
Sekilas aku melihat ke 4 Bapak itu memandangi puting
payudaraku yang semakin tercetak jelas di baju ketatku akibat keringat yang membasahi
tubuh bagian depanku. Mungkin karena takut aku menyadarinya, mereka semua
langsung mengalihkan pandangan mereka ke arah TV yang sudah menayangkan
pertandingan babak kedua.
“Oh iya Bapak-Bapak. Saya boleh ikutan nonton bola
bareng-bareng nggak?” tanyaku.
“Emangnya Dik Tita suka bola juga ya?” tanya Pak
Diman.
“Lumayan suka nonton juga sih. Apalagi pas Piala
Dunia kayak sekarang…” jelasku kepada Pak Diman.
“Oh Gitu? Ya udah nonton bareng-bareng aja sama kita
di sini. Saya mah seneng banget kalo Dik Tita mau nemenin kita-kita nonton
bola. Betul kan Bapak-Bapak?” balas Pak Wawan dengan tersenyum lebar sehingga
menunjukkan giginya yang tak terawat.
“Betul!!” Jawab Bapak-Bapak yang lain dengan
serempak.
Aku hanya bisa tersenyum menahan geli mendengar
jawaban dari Bapak-Bapak ini. Karena merasa akan lebih seru menonton
pertandingan dengan mereka, tanpa pikir panjang lagi aku pun masuk ke dalam pos
jaga lalu mengambil posisi duduk di atas tikar tepat di tengah-tengah mereka.
Karena takut adik perempuanku kuatir, maka aku
mengabarkan lewat SMS bahwa aku sedang menonton bola di rumah tetanggaku. Aku
juga mengingatkannya agar tidak mengunci gerbang dan pintu depan apabila aku
pulang agak malam. Setelah yakin SMS-ku sudah terkirim, aku pun menonton bola
bersama Bapak-Bapak tersebut sambil makan kacang tanpa memikirkan bahwa kacang
dapat menumbuhkan jerawat pada kulit wajahku yang mulus
.
Di saat sedang menonton bola, aku merasa mereka tak
henti-hentinya mencuri pandang ke arah paha putih mulusku dan juga ke bagian
payudara yang seolah-olah mengalahkan daya tarik pertandingan Brazil melawan
Portugal. Mereka menatapnya dengan tidak berkedip. Aku yakin saat ini mereka semua
pasti mulai terangsang dan ingin sekali dapat menikmati tubuhku.
Entah kenapa saat itu sempat terlintas di pikiranku
untuk menggoda Bapak-Bapak tersebut. Mungkin karena selama ini aku belum pernah
sekalipun melakukan persetubuhan dengan orang yang lebih dewasa. Aku pun
berpura-pura mengantuk lalu menyenderkan badanku pada dinding pos jaga. Aku
menutup mata supaya Bapak-Bapak itu dapat merasa lebih leluasa untuk
menggerayangiku apabila aku sedang tertidur lelap.
Seperti dugaanku, setelah aku pura-pura tertidur
pulas, aku merasakan tanganku diangkat ke atas oleh salah seorang dari mereka,
lalu orang tersebut memegangi pergelangan tanganku dengan cukup kencang.
“Umpanku udah mulai mengena nih…” kataku dalam hati.
“Eh, tutup dulu pintunya biar aman…” walaupun mataku
tertutup, aku dapat mengetahui bahwa suara tadi adalah milik Pak Wawan.
Tak lama setelah aku mendengar suara pintu pos jaga
ditutup, aku merasakan ada sebuah tangan mulai meraba-raba pahaku yang kemudian
disusul oleh sebuah tangan yang besar dan kasar menyusup masuk ke dalam bajuku
lalu meremas-remas kedua buah payudara milikku sekaligus memainkan putingnya.
Mungkin karena melihat aku tetap tertidur, perlahan-lahan tangan yang tadinya
meraba-raba pahaku mulai merambat ke atas hingga sampai ke payudaraku. Aku
bahkan dapat mendengar suara nafas mereka yang semakin memburu. Tampaknya
mereka sudah terbakar nafsu. Aku sendiri berusaha keras meredam gairahku yang
mulai naik.
“Eeeeeennggh…” aku akhirnya mengeluarkan desahan
lembut menggoda ketika merasakan dua buah tangan secara bersamaan memilin
puting payudaraku.
Sementara itu aku merasakan ada yang sepasang tangan
lain yang menarik celana pendek dan juga celana dalamku.
“Memeknya Dik Tita bagus banget. Nggak ada
jembutnya…” terdengar suara berbisik di bawah sana.
Tiba tiba perasaanku seperti tersengat ketika dengan
perlahan jari-jari tangan tersebut menyentuh dan menekan-nekan vaginaku yang
sudah tidak tertutup apapun. Jari-jari tadi mulai merayap masuk dan menyentuh
dinding kewanitaanku. Lalu aku merasakan benda tumpul dan basah, yang kuduga
itu adalah sebuah lidah, mulai menyentuh bagian dalam vaginaku.
Saat itulah aku pura-pura mulai tersadar lalu
membuka kedua mataku.
“Aaahh… Paak… Ja-jangan!! Jaaangaa… Mmmmmhhh…!!!”
kataku terputus karena tiba-tiba mulutku dibekap oleh seseorang yang tadi ada
di belakangku.
Aku pura-pura meronta agar tidak terlihat seperti
aku yang menginginkannya. Rupanya Pak Diman dan Pak Jono yang memainkan kedua
buah payudaraku, sedangkan Pak Bara asyik menikmati vaginaku dengan lidahnya.
“Pantes aja ada rasa gelinya…” pikirku dalam hati
karena kumis Pak Bara terus menggesek-gesek bibir luar vaginaku sehingga
menimbulkan sensasi yang berbeda.
Akhirnya aku benar-benar larut dalam kenikmatan yang
sedang melanda diriku. Pak Diman dan Pak Jono mulai membuka kaosku sehingga
kini aku sudah dalam keadaan telanjang bulat.
“Waaaah teteknya Dik Tita mulus bangeeet!!” komentar
Pak Diman yang tepat berada di depan payudara kananku.
“Bener Man! Udah pahanya mulus, teteknya putih
lagi…” tambah Pak Jono ikut mengomentari payudaraku yang putih mulus terpampang
dengan jelas di depan matanya.
“Kalo Bapak lepasin Dik Tita janji nggak bakal
teriak yah…” kata Pak Wawan yang hanya aku jawab dengan anggukan.
Karena yakin sudah menguasaiku, Pak Wawan melepaskan
bekapannya pada mulutku sehingga aku merasa sangat lega.
“Aaaaaaaaaaaah….” aku mendesah akibat sentuhan
mereka.
Melihat diriku yang sudah pasrah tak berdaya, Pak
Diman dan Pak Jono bersorak gembira. Mereka mengerubuti dan mulai menggerayangi
tubuhku. Pak Diman dan Pak Jono meremas-remas kedua payudaraku dengan brutal
sehingga membuat tubuhku merasa panas dingin. Tidak cukup puas hanya
meremas-remas buah dadaku saja, Pak Diman kemudian menghisap payudaraku yang
sebelah kanan, sedangkan Pak Jono mengenyot payudara bagian kiriku.
“Teteknya Dik Tita emang manteb banget dah!!” ujar
Pak Diman.
Kelihatannya Pak Bara sama sekali tidak tertarik
dengan apa yang dilakukan oleh teman-temannya terhadap tubuhku. Dia masih
terlihat menikmati bibir luar hingga rongga dalam vaginaku lalu melakukan
jilatan-jilatan dan menyedotnya. Tubuhku menggelinjang merasakan birahi yang
memuncak karena merasa geli sekaligus nikmat di bawah sana.
“Memeknya Dik Tita wangi deh!! Beda banget sama bini
saya…” kata Pak Bara di sela-sela menikmati vaginaku.
“Oooooooh… Aaaaaaahhh… Enaaaaakkk…” aku
mengerang-erang keenakan.
Sekarang Pak Diman, Pak Jono dan Pak Bara sudah
mendapat jatah mereka masing-masing. Pak Wawan sepertinya juga tidak mau
ketinggalan, dia mulai mencium dan menjilati leher mulusku semakin yang
menggiurkan karena basah oleh keringat. Setelah Pak Wawan puas bermain di
bagian leherku, dia menarik kepalaku dengan perlahan ke arah belakang sehingga
kepalaku agak mendongak ke atas. Dengan penuh nafsu Pak Wawan langsung mencumbu
serta melumat bibirku, lalu dia menyelipkan lidahnya masuk ke dalam mulutku
hingga aku gelagapan. Walaupun bau nafas Pak Wawan sungguh tidak enak, tetapi
yang bisa kulakukan hanyalah membuka mulutku dan membiarkan Pak Wawan memainkan
lidahnya di dalam mulutku.
“Eeeeeemmmmmhhh…. Eeeeehhhmmm…” erangku ketika mulai
dikeroyok mereka berempat.
Kini, tubuhku sudah seperti boneka bagi mereka,
karena mereka bisa berbuat sesuka hati terhadap tubuhku. Mereka menikmati jatah
mereka dengan penuh nafsu. Pak Diman dan Pak Jono terus menjilati kedua buah
payudaraku serta menggigit kecil kedua putingku putingku yang sudah menegang
itu. Pak Wawan terus menerus memainkan lidahnya di dalam mulutku, dan aku juga
membalasnya dengan memainkan lidahku sehingga lidah kami saling membelit. Aku
dapat merasakan kalau ludah kami berdua menetes-netes di sekitar bibir karena
kami berciuman sangat lama.
Dikerubuti dan dirangsang sedemikan rupa membuat aku
merasakan gejolak yang luar biasa melanda tubuhku tanpa bisa kukendalikan.
“Ooooh… Aaaaaaah… Nngggg… Aaaaagh…” aku mengerang
dan menjerit keenakan.
Pak Bara kini semakin membenamkan kepalanya di
antara kedua pahaku, dan karena agak geli akupun merapatkan kedua pahaku
sehingga kepala Pak Bara terhimpit oleh kedua paha mulusku.
“Enak ya Dik Tita… Sluuuurrpp… dijilatin Bapak?
Eehmmm… Sluuurrp…” tanya Pak Bara tanpa menghentikan jilatan dan hisapannya
pada vaginaku terlebih dahulu.
“Eeeeenak bangeeeet Paaak…!!” aku terus mendesah
nikmat.
Terus-terusan menerima serangan birahi secara
bersamaan dari 4 orang pria yang berbeda pada daerah sensitifku, aku jadi tidak
kuat menahan lama-lama sehingga dalam waktu kurang dari 10 menit tubuhku sudah
seperti tersengat arus listrik yang menandakan kalau sebentar lagi aku akan
mencapai orgasme.
“Paaak Baraaa… Saayaaaa mauuu keluaaaarr!!
Aaaaaaaaaaaah….!!!” aku berteriak dengan kencang.
Tidak lama kemudian cairan orgasmeku mengalir keluar
dari vaginaku. Pak Bara yang berada tepat di depan lubang vaginaku semakin liar
menjilati vaginaku yang sudah sangat basah oleh cairanku tadi.
‘Slurrpp… Sluurrrpp…’ cairanku yang mengalir dengan
deras dilahap oleh Pak Bara dengan rakus.
“Wih!! Cairan memeknya Dik Tita manis dan gurih
banget!!” komentar Pak Bara.
Setelah cairanku sudah hampir habis, ke 3 bapak yang
tadi masih sibuk dengan bagiannya masing-masing langsung menghentikan aktivitas
mereka, kemudian mendekat ke arah vaginaku.
“Mmmmmmhhhh…” desahku menerima jilatan demi jilatan
pada sisa-sisa cairan orgasmeku yang masih ada di sekitar bibir vaginaku hingga
mereka semua kebagian.
“Sekarang Bapak-Bapak mau masukin penisnya ke dalam
sini nggak?” aku bertanya sambil menunjuk vaginaku.
“Mau banget dong Dik!!” jawab Pak Jono semangat.
“Beneran nih nggak apa-apa kalo kita entotin Dik
Tita rame-rame?” tanya Pak Bara dengan wajah tidak percaya.
“Beneran kok Pak! Masa saya bercanda sih…” jawabku
serius.
“Wah Bapak-Bapak!! Yang punya udah ngebolehin tuh!!”
kata Pak Jono dengan wajah senang sekaligus keheranan mendengar jawabanku
barusan.
Tentu saja mereka semua tidak menyia-nyiakan
kesempatan di depan mata. Mereka semua langsung membuka baju dengan
terburu-buru. Mereka pasti sudah sangat tidak sabar ingin merasakan kehangatan
tubuhku yang sudah kupasrahkan untuk mereka berempat. Untuk lebih merangsang
mereka, kubuka ikat rambutku sehingga rambutku kini terurai sampai menyentuh
bahu. Sekarang ke 4 Bapak-Bapak ini sudah dalam keadaan telanjang bulat dengan
penis mengacung tegak menghadap seorang gadis yang sepantasnya menjadi anak
mereka.
“Gede-gede banget!!” kataku dalam hati.
Tentu saja aku kaget dengan ukuran penis milik
Bapak-Bapak ini yang berukuran sekitar 17-18 cm dengan diameter yang sangat
besar. Mungkin juga karena selama ini aku baru melihat penis yang ukurannya
hanya mencapai 15 cm saja. Aku juga masih sempat memperhatikan, betapa kulit ke
4 Bapak ini hitam dan kasar bila dibandingkan dengan kulitku yang putih mulus.
“Dik Tita pasti bakal keenakan dientot sama kita-kita…”
kata Pak Diman kepadaku.
Tadinya aku sempat merasa ngeri memikirkan
Bapak-Bapak yang memiliki tubuh besar ini akan menjarah habis tubuh mungilku.
Namun ternyata membayangkan semua itu malah membuat aku terangsang hebat dan
gairahku naik tak terkendali. Aku tanpa sadar menanti dan berharap mereka akan
memberikanku kenikmatan melebihi yang baru saja melandaku.
“Siapa yang bakal duluan ngentotin Dik Tita?” tanya Pak
Jono kepada teman-temannya.
“Gue dulu deh!! Napsu gue udah di ubun-ubun nih!!”
teriak Pak Wawan yang nampaknya sudah sangat tidak sabaran lagi untuk bisa
menyetubuhiku.
“Enak aja! Gue dulu dong!! Gue udah lama banget
pengen ngentotin Dik Tita!!” teriak Pak Diman tidak mau kalah.
Seperti kumpulan anak kecil yang sedang berebut
mainan, mereka semua tidak mau kalah ingin menjadi yang pertama kali
mencobloskan penis mereka ke dalam vaginaku yang masih sangat sempit walaupun
sudah tidak perawan lagi.
“Udah dong Bapak-Bapak jangan pada rebutan gitu!!”
kataku dengan nada kesal.
“Ja-jangan marah dong Dik Tita. Iya deh kami semua
nggak bakal berebut lagi…” jawab Pak Wawan.
“Ya udah. Biar adil gimana kalau saya aja yang
milih?” tanyaku.
“Boleh juga idenya Dik Tita tuh!” kata Pak Jono.
Aku melihat ke arah penis mereka berempat dan aku
menemukan kalau penis Pak Bara adalah yang paling besar di antara yang lain,
hitam serta dipenuhi urat-urat menonjol. Maka aku memilih penis Pak Bara untuk
mengisi liang vaginaku, lalu aku memilih penis milik Pak Wawan yang tidak kalah
besar untuk aku hisap.
“Ayo ke sini Dik Tita…” ajak Pak Bara yang sudah
terlentang di atas tikar.
Tanpa perlu disuruh lagi, aku mendekati Pak Bara
yang sudah kelihatan bernafsu sekali melihat kemulusan tubuhku yang terlihat seksi
karena penuh dengan keringat, tidak hanya karena udara di dalam yang memang
gerah, namun juga karena perlakuan mereka terhadapku tadi. Kemudian aku naik ke
atas tubuh Pak Bara lalu membimbing penisnya untuk masuk ke dalam vaginaku.
“Saya masukin penis Bapak pelan-pelan dulu ya…” aku
berkata kepada Pak Bara.
Pak Bara hanya menganguk sambil tersenyum memandangi
diriku. Karena ini adalah pertama kalinya vaginaku dimasuki oleh penis
berukuran besar, maka penis Pak Bara hanya dapat masuk sebagian saja. Walaupun
baru menancap setengahnya, batang penis Pak Bara itu membuat liang vaginaku
terasa begitu sesaknya. Urat-urat pada batang penis itu berdenyut denyut menambah
sensasi yang kurasakan.
“Aaaaaaah… Memeknya sempit banget!! Untung banget
gue bisa ngentot sama Dik Tita!! Eemmhh… Ooohh…” komentar Pak Bara.
“Oooooohhh… Aaaaaahhhh… Enaaaakkk bangeeeet Paaak…”
erangku karena tidak kuat merasakan sensasi luar biasa yang ditimbulkan dari
tusukan penis Pak Bara pada vaginaku.
Pak Bara membiarkanku agar terbiasa dengan ukuran
penisnya. Namun tetap saja penisnya belum dapat masuk semuanya ke dalam
vaginaku. Untungnya vaginaku tidak terasa perih sehingga aku dapat
menikmatinya. Di saat yang bersamaan Pak Bara juga menjilati payudaraku dan
menggesek-gesekkan kumisnya ke putingku yang membuat birahiku semakin memuncak.
“Aaaaaaaaaahhhh…” aku semakin mendesah menerima
sodokan penis sekaligus jilatan pada payudaraku.
Di tengah-tengah persetubuhanku dengan Pak Bara, aku
masih sempat melihat Pak Jono dan Pak Diman sedang mengocok penis mereka
sendiri. Sepertinya mereka berdua sudah sangat terangsang melihat pemandangan
menggiurkan di depan mereka sekaligus tidak sabar ingin mencicipi tubuhku.
“Sepongin penis Bapak dong Dik. Daripada mulutnya
nganggur…” tiba-tiba Pak Wawan berdiri di hadapanku dengan senyum yang
memuakkan sambil mengarahkan penisnya ke arah wajahku.
Dengan tidak sabaran, Pak Wawan menjejali mulutku
dengan penisnya, penis itu ditekan-tekankan ke dalam mulutku hingga wajahku
hampir terbenam pada bulu-bulu kemaluannya. Aku cukup bisa menikmati menghisap
penisnya, walaupun baunya sungguh tidak enak. Kedua buah zakarnya juga aku
pijati dengan tanganku.
“Gilaaaa!! Maanteebb banget sepongan Dik Titaaa!!!”
ceracau Pak Wawan.
Aku pun menelan penis Pak Wawan hingga menyentuh
daging lunak di tenggorokanku. Pemiliknya semakin mendesah tidak karuan
menikmati service mulutku. Setelah beberapa menit kumainkan di dalam mulutku,
penis Pak Wawan mulai berkedut-kedut, lalu tidak lama kemudian Pak Wawan
akhirnya ejakulasi di mulutku.
“Aaaaaaaaaaagh… Oooooooooh…” Pak Wawan melenguh
panjang dan meremas-remas rambutku saat aku menelan semua spermanya tanpa ingin
menyisakan sedikitpun.
“Eeeeemmmm…” aku menikmati sperma milik Pak Wawan
yang keluar sangat banyak .
“Dik Tita cakep-cakep doyan minum peju!! Hahaha…”
komentar Pak Jono sambil tertawa melihatku dengan rakus membersihkan penis Pak
Wawan dengan mulutku.
“Kirain Dik Tita cewek alim! Taunya liar juga
yah…!!” Pak Diman juga ikut berkomentar.
Aku benar-benar larut di dalam pesta seks ini dan
sudah tidak peduli lagi bahwa di mata mereka aku sudah berubah dari gadis yang
alim menjadi seorang pelacur murahan.
“Sepongan Dik Tita emang hebaaat bangeeet!!”
komentar Pak Wawan yang sedang menunggu penisnya menyemburkan sperma ke dalam
mulutku hingga tetes terakhir.
Tergiur dengan apa yang aku lakukan terhadap penis
Pak Wawan, tak lama kemudian Pak Jono dan Pak Diman langsung mendekat dan
berjalan ke depanku lalu mereka menyodorkan penis mereka masing-masing ke arah
wajahku. Tanpa ragu lagi, aku mengocok penis Pak Jono dan mengulum penis Pak
Diman secara bersamaan.
“Aaaaaaaahhh… Terrruusss Dik Titaaaaaa!!” desah Pak
Diman ketika aku mengemut kepala penisnya serta menyentil-nyentilkan lidahku ke
lubang kencingnya.
Sekarang aku bergantian memaju-mundurkan batang
kejantanan Pak Diman dengan tanganku secara perlahan, sementara mulutku menghisap
penis Pak Jono.
“Aduuuh… E-enak banget Dik!! Aaaaaaah…” kata Pak
Jono dengan bergetar.
Mungkin karena aku sudah lama tidak menerima
serangan sekaligus seperti ini, aku pun cepat mencapai orgasme hanya dalam
waktu kurang dari 10 menit.
“Ooooooooohh… Aaaaaaggggh…” sambil melepas sebentar
hisapanku pada penis Pak Jono aku pun mengerang panjang karena tidak tahan
dengan nikmat yang mendera.
Karena vaginaku sudah licin oleh cairan orgasme,
maka penis Pak Bara dapat amblas sepenuhnya. Aliran cairan vaginaku tertahan
oleh penis Pak Bara yang sedang keluar masuk vaginaku sehingga berbunyi setiap
kali Pak Bara memasukkan penisnya ke dalam vaginaku.
Penis itu terasa seperti sedang menyodok bagian
terdalam dari vaginaku, mungkin itu rahimku. Aku hanya bisa mengerang tanpa
berani menggeliat, walaupun aku merasakan sakit yang bercampur nikmat.
“Oooh sempit bangeeet Dik!! Enaknyaaa… Aaaaaaah…”
Pak Bara mulai meracau sambil terus memompa penisnya.
Untung saja aku masih bisa mengimbangi kekuatan Pak
Bara walaupun sudah mengalami 2 kali orgasme. Sementara itu, Pak Diman dan Pak
Jono menarik penis mereka dari mulutku karena mereka tidak ingin keluar
cepat-cepat.
“Mmmmhhhh… Aaaaaaaaahhhh…!!!” aku mengeluarkan
desahan yang sempat tertahan karena tadi mulutku penuh dengan penis.
Akhirnya 5 menit setelah aku mencapai orgasmeku yang
kedua tadi, aku merasakan penis Pak Bara yang sedang mengisi vaginaku mulai
berdenyut-denyut menandakan kalau Pak Bara akan mencapai orgasme. Pak Bara
mempercepat sodokan penisnya terhadap vaginaku yang membuatku merasa sedikit
perih karena penis besarnya itu keluar masuk dengan cepat dan kuat padahal
lubang vaginaku masih sangat sempit. Namun setelah terbiasa akhirnya aku
menemukan rasa nikmat dibalik rasa perih itu.
“Aaaaahhhh… Dik Titaaaaa!! Bapaaakkk… Keluuaarrrr!!!”
teriak Pak Bara.
“Keluariiiin di dalem aja Pak…!! Aaaaaaaaah…”
pintaku dengan lirih.
Dan tak lama kemudian, Pak Bara sudah menyemburkan
spermanya yang hangat ke dalam rahimku, lalu nafas Pak Bara tersengal-sengal
sehingga dia memutuskan untuk menghisap-hisap payudaraku dengan mulutnya sambil
menunggu penisnya memuntahkan semua isinya ke dalam vaginaku.
Baru sekitar 2 menit aku mengatur nafas dan tenagaku
untuk menghadapi Pak Diman dan Pak Jono, ternyata Pak Bara mau aku bersimpuh di
hadapannya lalu bertumpu dengan kedua lututku. Aku yang sudah mengerti maksud
Pak Bara, langsung mengambil penisnya yang masih berlumuran sperma dan juga
cairan vaginaku, kemudian membersihkan penis Pak Bara hingga spermanya tak
bersisa lagi.
“Pak, saya udah bersihin penis Bapak sampe nggak ada
sisanya nih. Sekarang saya main sama Pak Jono dan Pak Diman dulu ya…” kataku
kepada Pak Bara.
“Makasih ya Dik Tita. Ya udah Bapak juga mau istirahat
dulu…” jawab Pak Bara.
“Heh Pak Bara!! Kalo mau ngobrol entar aja!! Gue
udah kebelet pengen ngentot Dik Tita nih!!” teriak Pak Jono.
“Ya udah. Sekarang gantian elo yang ngentot sana!
Gue juga mau istirahat dulu…” kata Pak Bara cuek sambil memakai kembali celana
dan bajunya.
“Sekarang Dik Tita ambil posisi tiduran…” perintah
Pak Jono.
Kali ini giliran aku yang mengambil posisi
terlentang di atas tikar. Aku menekuk kedua kakiku lalu melebarkannya bersiap
disetubuhi oleh Pak Jono dan Pak Diman. Kedua Bapak itu pun memandangi vaginaku
yang masih rapat dan tanpa bulu itu dengan wajah penuh birahi.
Mungkin karena sebelumnya sudah ada kesepakatan
antara Pak Diman dengan Pak Jono, maka Pak Diman-lah yang mengambil giliran
selanjutnya untuk menyetubuhiku. Tanpa basa-basi lagi, Pak Diman segera
menyergap dan menindih tubuh mungilku. Dengan penuh nafsu Pak Diman menjejalkan
penisnya yang amat besar itu ke dalam vaginaku. Aku terbeliak, merasakan
kembali sesaknya vaginaku.
Karena vaginaku sudah banjir dengan cairanku serta
sperma Pak Bara, maka penis milik Pak Diman yang berukuran besar dapat dengan
mudah masuk ke dalam vaginaku. Kini vaginaku sudah dimasuki oleh penis yang
berukuran besar untuk kedua kalinya. Namun aku sungguh menikmatinya dengan
penuh penghayatan sampai-sampai dengan tidak sadar, aku menutup mataku.
“Oooh… Memeknya Dik Tita enaaak bangeeet!! Kontol
gue kayak diurut-urut!!” erang Pak Diman.
Penis itu terasa seperti sedang menyodok bagian
terdalam dari vaginaku, mungkin itu rahimku. Aku hanya bisa mengerang tanpa
berani menggeliat, walaupun aku merasakan sakit yang bercampur nikmat. Tanpa
sadar, kakiku melingkari pinggang Pak Diman, seakan tak ingin penisnya
terlepas.
“Aaaaaahhh… Oooooohh… Mmmmhhhhhhhh…” desahku karena
tidak bisa menahan rasa nikmat yang menyerangku.
Karena tidak sabar menunggu, Pak Jono mulai menaruh
penisnya di depan mulutku yang masih belepotan sperma dari Pak Wawan dan juga
Pak Bara. Tanpa malu-malu lagi aku memegang penis yang sudah sangat tegang itu
dan segera membenamkannya ke dalam mulutku. Kemudian aku mulai mengulum penis
Pak Jono yang hanya masuk sebagian hingga pipiku terlihat cekung ke dalam.
Aku sempat melirik ke arah Pak Wawan dan Pak Bara
sudah duduk memakai celana panjang mereka sambil menghisap rokok dan meminum
kopi dengan tontonan mereka yang lebih seru dari Piala Dunia, yaitu aku yang
sedang dikerubuti oleh dua orang lelaki berkulit hitam alias Pak Diman dan Pak
Jono.
Baru beberapa menit aku melakukan oral seks Pak Jono
sudah berteriak “Dik Titaaa!! Bapaaak keluaaaar… Oooooh… Enaaak…”
‘Croot… Crooot… Croooot’ semburan hangat sperma Pak
Jono pun keluar di dalam mulutku hingga membasahi kerongkongan. Seperti sudah
ketagihan, aku terus melahap, menjilati dan mengulum penis itu hingga bersih
dari sisa-sisa sperma yang masih menetes.
“Lho kok Pak Jono udah keluar aja? Masa kalah sama
sepongannya Dik Tita? Gimana kalo sama memeknya yang seret Pak…” kata Pak Bara
dengan nada sedikit mengejek disambung tawa Pak Wawan yang duduk di sebelahnya.
Pak Jono hanya tersenyum malu tanpa berkata apa-apa.
Sementara itu Pak Diman masih terus menggerakkan penisnya ke dalam vaginaku
dengan sangat perlahan dan mencabutnya dengan cepat. Saat itu yang terdengar
hanyalah suara pompaan penis serta suara desahan nafasku dan Pak Diman yang
saling memburu. Sodokan demi sodokan Pak Diman benar-benar luar biasa, seolah memompa
gairahku menuju orgasme.
“Aaaaaaaaaaaaahh… Sayaa keluaaarr Paaaak!!” aku
sudah tidak tahan lagi sehingga aku melepaskan orgasmeku yang ketiga.
“Sa-sayaaa juga keluaaaar Dik…!!” erang Pak Diman
ketika memuntahkan lahar putihnya ke dalam vaginaku bersamaan dengan orgasmeku
yang kutahan-tahan dari tadi.
Vaginaku kini terasa hangat oleh semburan sperma
milik Pak Diman yang bercampur dengan cairanku. Kini daerah sekitar vaginaku
yang sudah basah semakin banjir saja oleh sperma, sampai-sampai cairan itu
meleleh di kedua pahaku.
“Eeeeemmhhhh…” nafasku tersengal-sengal.
Begitu juga dengan Pak Diman dan Pak Jono yang sudah
menuntaskan nafsu setan mereka kepadaku. Sambil mengatur nafas, Pak Jono
menciumi tengkuk leherku dengan lembut sedangkan Pak Diman yang tadinya ingin
melumat bibirku, namun aku menolaknya karena aku mau mengatur nafasku dulu,
mulai menjilati leherku yang penuh dengan butiran keringat.
Setelah nafas kami bertiga sudah normal kembali,
mereka berdua berjalan untuk mengambil pakaiannya masing-masing. Sedangkan aku
berdiri dan bersiap memakai baju serta celana pendekku yang berserakan di depan
TV yang sudah tidak menayangkan acara bola lagi.
“Udah dulu yah Bapak-Bapak. Saya mau pulang dulu…”
aku pamit kepada mereka semua yang masih terlihat kelelahan.
“Jangan pulang dulu dong Dik Tita!” Pak Bara
melarangku pergi sambil memegang tanganku.
“Emangnya Bapak-Bapak masih belum puas?” tanyaku.
“Iya!!” jawab mereka hampir bersamaan.
“Tapi kan Bapak-Bapak udah pada lemes kayak gitu.
Lagian saya udah capek banget nih…” kataku.
“Bentaran juga udah kuat lagi kok Dik…” kata Pak
Wawan yang sepertinya masih belum cukup puas karena dia memang belum merasakan
bersetubuh denganku.
“Aduh gimana ya? Udah malem banget nih Pak…” aku
berusaha mencari alasan untuk menolak permintaan mereka.
“Ayo dong! Dik Tita mau kan?” pinta Pak Wawan
memelas.
“Bapak kan juga belom ngerasain ngentot sama Dik
Tita…” sambung pak Jono lagi.
“Iya Dik! Kan dingin kalau kita cuma berempat. Kalo
ada Dik Tita kan bisa bikin kita-kita anget…” tambah Pak Diman.
“Ya udah boleh deh. Asal Bapak-Bapak janji nggak
akan cerita hal ini sama orang lain ya. Biar jadi rahasia kita berlima aja.
Gimana?” tanyaku.
“Yah kalo itu mah nggak usah disuruh Dik! Masak
Bapak mau bilang-bilang sih…” jawab Pak Wawan menyanggupi.
Karena terlanjur menyanggupi permintaan mereka, aku
yang baru mengenakan celana dalamku mulai melepaskannya lagi, hingga kini
tubuhku sudah dalam keadaan bugil. Penis milik Pak Wawan, Pak Diman, Pak Bara
dan Pak Jono yang tadinya sudah dalam keadaan lemas mulai mengeras lagi karena
melihat tubuh putih mulusku yang tidak tertutup sama sekali.
Kemudian aku mulai memanggil mereka satu per satu
dan membiarkan vaginaku menjadi bulan-bulanan lidah mereka. Bahkan ketika
masing-masing sudah mendapatkan jatah untuk mencicipi vaginaku, mereka berempat
kembali menjilati seluruh tubuhku sehingga berlumuran air liur mereka.
“Mulai lagi yuk Dik Tita…” pinta Pak Wawan tidak
sabaran.
“Silakan Bapak-Bapak nikmatin tubuh saya sepuasnya…”
kataku mengijinkan.
Lalu dimulailah pelampiasan nafsu bejat 4 orang pria
tua terhadapku. Kali ini aku disetubuhi oleh 4 Bapak-Bapak itu secara
bergiliran. Mulai dari Pak Wawan, Pak Jono lalu Pak Diman dan yang terakhir
oleh Pak Bara. Mereka juga menikmati tubuhku dengan berbagai posisi.
Karena mereka sangat menikmati himpitan vagina serta
teknik oral seks-ku, maka mulai dari vagina, mulut bahkan seluruh tubuhku
terus-menerus disemprot sperma oleh mereka berempat. Aku juga sudah tidak bisa
menghitung lagi berapa kali aku mengalami orgasme. Setelah sudah benar-benar
kelelahan, kami yang masih dalam keadaan bugil beristirahat sembari minum dan
mengobrol.
“Dik, kan dari tadi peju kami semua dikeluarin di
dalem. Apa Dik Tita nggak takut hamil?” tanya Pak Bara yang paling banyak
menyemprotkan spermanya ke dalam vaginaku di tengah obrolan kami.
“Emang Bapak-Bapak nggak mau tanggung jawab kalau
nanti saya hamil?” tanyaku memasang wajah serius.
Seketika muka mereka langsung terlihat pucat mendengar
pertanyaanku barusan.
“Hahaha… Tenang aja Bapak-Bapak. Saya lagi nggak
subur kok sekarang…” kataku sambil tertawa melihat wajah ketakutan mereka
semua.
Mereka semua pun ikut tertawa lega setelah sadar
kalau yang kutanyakan tadi hanya sekedar gurauan saja.
“Bapak-Bapak, saya pamit pulang yah. Udah malam
banget nih…” ujarku seraya melihat jam di HP-ku yang sudah menunjukkan pukul 12
malam.
“Tapi kapan-kapan Dik Tita mau nemenin kami lagi
kan?” tanya Pak Diman.
“Boleh aja Pak. Asalkan yang lagi jaga Bapak-Bapak
berempat…” jawabku sambil memakai pakaianku.
“Gampang! Itu mah bisa Bapak atur!” jawab Pak Bara
yang memang bertugas mengatur jadwal jaga.
“Tapi jangan
keseringan ya Pak! Lama-lama saya bisa hamil dong…” candaku.
“Pokoknya beres deh Dik!” jawab Pak Wawan.
“Ya udah saya pulang dulu ya Bapak-Bapak…” kataku
sambil bergegas keluar pos jaga karena takut mereka ingin menikmati tubuhku
lagi.
“Hati-hati ya Dik…” kata mereka serempak.
Aku pun langsung berlari kecil menuju rumah karena
suasana di sekitar rumahku sudah sangat sepi dan gelap. Di perjalanan pulang
aku sempat mengingat kejadian yang baru aku alami adalah pengalaman yang
sungguh memuaskan. Pada dasarnya aku memang sangat menikmati seks keroyokan
seperti tadi, apalagi ditambah yang menyetubuhiku adalah Bapak-Bapak yang sudah
sangat berpengalaman.
Setibanya di rumah aku melihat lampu sudah gelap dan
tidak terdengar lagi suara TV menyala.
“Sepertinya semuanya udah pada tidur…” aku memaklumi
karena sekarang sudah lewat tengah malam.
Setelah mengunci pintu gerbang dan pintu depan, aku
langsung menuju ke kamar mandi untuk membasuh tubuhku yang bermandikan sperma.
Setelah selesai berganti pakaian, aku merebahkan tubuhku yang sangat lelah
setelah hampir 2 jam dinikmati oleh Bapak-Bapak tadi. Untunglah besok hari
Sabtu, sehingga aku bisa istirahat seharian penuh. Tak butuh waktu lama aku pun
tertidur dengan pulas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.