Baru pulang dari luar kota tadi malam Saya agak
malas untuk siap-siap ke kantor, nanti agak siang saja Saya masuknya. Istri
saya sudah berangkat, anak semata wayang saya sudah ke sekolah. Selesai sarapan
yang disiapkan oleh Yuni Saya belum juga mandi tapi menikmati 3 hari koran yang
belum sempat saya baca selama keluar kota di sofa ruang tamu. Santai… Hari
menjelang siang.
Yuni baru saja selesai mengepel lantai lalu ke
belakang. Rasanya ada yang aneh pada Yuni. Tiap hari dia memang mengepel lantai
dan itu biasa. Entah apanya yang berbeda pada dia pagi ini Saya tak
memperhatikan dan memang tak ingin tahu. Hanya saya rasakan agak aneh saja.
Kembali Saya membaca koran. Ketika terdengar suara guyuran air di kamar mandi
belakang, juga masih biasa, Yuni selesai bersih-bersih rumah lalu mandi.
Lalu setengah jam kemudian dia tampak sliweran
antara dapur dan ruang makan juga biasa. Juga ketika masuk ke kamar anak saya.
Sekilas Saya sempat melihatnya lewat dari balik bentangan koran saya. Mungkin
ini yang tak biasa, dia tampak lebih rapi dari biasanya. Daster yang dia
kenakan tampaknya baru. Mungkin dia mau keluar belanja, pikirku.
Dalam kesibukan dia di ruang makan kadang dia
membuat suara-suara benturan piring dan alat lainnya. Dengan sendirinya Saya
sedikit mengangkat kepala mengalihkan pandangan dari koran ke arahnya. Itu
gerakan refleks yang biasa. Yang tak biasa adalah dia beberapa kali
‘tertangkap’ sedang memandang ke arah saya tapi tatapan matanya agak ke bawah.
Ketika dia sedang ke belakang Saya coba meneliti adakah yang aneh pada diri
saya ? Kebiasaan di rumah Saya selalu mengenakan celana pendek. Itu sudah
sering dan Yuni juga sudah tahu. Jadi apanya yang aneh? Ah, memang Saya peduli!
Saya terus saja membaca.
Sampai tak lama kemudian, saat sedang asyiknya Saya
membaca tanpa saya sadari Yuni sudah berdiri di depan saya. Koran saya
letakkan, belum sempat Saya membuka mulut untuk bertanya, tiba-tiba Yuni
menghambur ke arah saya, duduk di pangkuan saya dan memeluk tubuh saya. Lalu
kepalanya yang tersembunyi di dada saya terlihat sedikit berguncang. Yuni
menangis. Ada angin apa nih?
“Maafkan aku Kang…” katanya di sela-sela isakan
tangisnya.
Yuni memang bukan pembantu. Dia adalah sepupu istri
saya, sama-sama dari Kuningan, asal istri saya. Dia cukup cerdas walau SMK saja
tak tamat, karena keburu disuruh menikah oleh ibunya. Teman-temannya di kampung
pada umumnya hanya tamatan SMP atau bahkan SD. Dia sebenarnya ingin sekolah
sampai tingkat sarjana, hanya kebiasaan di kampung mengharuskan anak perempuan
sudah berrumah-tangga ketika mencapai umur 16 atau 17 tahun. Malang baginya,
ketika usia pernikahan menjelang setahun suaminya tertangkap basah
berselingkuh. Dia minta cerai dan ingin ikut istri saya ke Jakarta sambil siapa
tahu bisa meneruskan sekolahnya dan menggapai cita-citanya menjadi sarjana
pertanian. Di kampung dulu dia memang amat dekat dengan istri saya.
Setelah bicara dengan saya, istri saya setuju
menyekolahkan dia sampai tamat. Yuni bersedia kerja apa saja, jadi pembantu
sekalipun, untuk mengejar cita-citanya. Kami, saya, istri dan anak saya tak
pernah menganggap dia sebagai pembantu. Kami perlakukan dia sebagai salah satu
kerabat dekat. Sudah hampir dua bulan dia ikut dengan keluarga kami. Dia sudah
terdaftar di SMK kelas tiga, hanya belum mulai sekolah karena menunggu tahun
ajaran baru, bulan depan. Umurnya kini 18 tahun. Memang sedikit terlambat. Anak
seusia dia umumnya sudah tamat SMU.
“Kenapa Yun?”
“Maafkan aku Kang…”
“Kamu salah apa?”
Dia tak menjawab, masih terisak. Saya coba menduga-duga,
mungkin dia tak betah karena mengerjakan urusan rumah tangga mirip pembantu.
“Kamu pengen pulang?”
Yuni menggeleng. Sebenarnya tidak juga sebagai
pembantu karena istri saya kalau sedang di rumah juga ikut terjun kerja bersama
dia. Anak saya pun begitu. Kami memang sudah biasa tak punya pembantu.
“Atau kamu gak betah di sini?”
“Bukan Kang bukan… Saya senang tinggal sama Teteh…”
yang dia sebut teteh adalah istri saya.
“Jadi kenapa?”
Hening sejenak, lalu
“Saya nya Kang, aku yang tak beres…”
“Tak beres apanya? Ayo cerita, jangan
sungkan-sungkan. Kamu kan sudah aku anggap adikku sendiri”
“Bukan masalah itu Kang… Akang sekeluarga disini
baik-baik semua… aku betah…”
“Lalu ?”
Yuni masih diam, tangisnya mereda. Tapi masih belum
mau bicara. Tak sadar Saya mengelus-elus rambutnya yang lurus dan panjang
sepunggung, seperti rambut istri saya. Memang Yuni banyak kemiripan dengan
istri saya. Wajah mirip, hanya istri saya langsat dia sawo matang. Bentuk
tubuhnya sama langsing, hanya dada Yuni sedikit lebih besar. Jangan berpikiran
macam-macam. Dari ‘tampak luar’ saja sudah terlihat, tak harus ‘memeriksa’ ke
dalam.
Memangnya Saya sekurang ajar itu berani memeriksa
dada sepupu istri saya. Dada? Ah… gumpalan daging kembarnya itu melekat erat di
dada saya sekarang. Baru sekarang juga Saya menyadari bahwa bongkahan itu
menempel di tubuh saya nyaris tak ada penghalang. Tak ada ‘kain keras’ di
antara kami. Masa sih ? Untuk memenuhi rasa penasaran saya, tangan saya yang
sedang membelai rambut Yuni ‘mampir’ sebentar ke punggungnya. Hanya kain daster
saja yang ada dipunggungnya. Benar, Yuni tak mengenakan bra! Saya lebih banyak
berpikiran positif. Mungkin saja tadi dia sehabis mandi belum sempat
memakainya. Tapi menyadari ‘keadaan’ begini, sebagai lelaki normal tak urung
ada yang menggeliat di balik celana pendek saya.
Lalu, saya biarkan pikiran saya mengelana, saya
bayangkan bentuk bongkahan yang menekan dada saya, tentunya masih kencang sebab
dia belum punya anak dan belum setahun ‘dipakai’, dengan putingnya yang kecil
dan kecoklatan. Imagi begini jelas saja membuat perangkat bawah saya semakin
mengencang. Tiba-tiba Yuni mengangkat kepalanya yang dari tadi ngumpet di dada
saya. Ditatapnya mata saya sejenak, lalu pandangan beralih ke tubuh saya bagian
bawah dan kemudian menatap saya lagi. Saya yakin pantatnya telah merasakan
perubahan yang terjadi di celana saya.
“Kang…” bisiknya serak.
Pantatnya bergerak menggoyang, melumati kelamin
saya. Mendadak mulut saya dipagutnya. Saya masih shock atas tindakannya ini
sehingga bibir saya pasif saja menerima sapuan bibirnya. Tapi itu tak lama,
hanya beberapa saat kemudian bibir saya malah merespon lumatan bibirnya. Kami
berciuman. Celakanya, entah bagaimana Saya jadi membayangkan bahwa yang sedang
saya ciumi ini adalah istri saya sehingga ciuman kami makin seru.
Saya sempat melayang-layang sampai suatu saat
kesadaran saya mendarat kembali ke bumi, rasio mengalahkan emosi. Saya dorong
kepala Yuni menjauh, ciuman terlepas.
“Yun…?”
Saya lihat ekspresi wajahnya yang kaget sekejap.
“Kang… maafkan aku… tapi aku butuh banget… butuh Kang…
udah lama banget menahan…”
“Kamu sadar Yun?”
“Iya Kang, sadar bahwa aku sangat membutuhkanmu
Kang…”
“Kenapa aku?” tanya saya lagi.
“Gak tahu Kang. Tubuhku ini udah lama membara… Udah
lama aku coba menahannya tapi aku gak mampu Kang… tolong Akang mengerti…”
Tanpa menunggu reaksi saya Yuni kembali menciumi
saya. Kami berpagutan lagi. Saya mulai menikmati. Kesadaran saya berangsur
menghilang.
Kemudian, ini gerakan refleks yang wajar dan biasa
ketika sambil berciuman telapak tangan kanan saya mulai meremas-remas buah dada
kirinya yang hanya tertutup daster. Daging yang sekal sesuai bayangan saya
tadi. Yuni melepas ciuman lalu mengerang sambil kepalanya mendongak menikmati
remasan saya. Bahkan erangannya mirip rintihan istri saya. Cuma sebentar,
kembali dia mengejutkan saya, dengan sigapnya dia melepas kancing-kancing
dasternya lalu menyodorkan dadanya ke muka saya. Dua bulatan kembar itu kini
terhidang di depan hidung saya. Putingnya kecil tapi telah mengacung ke depan.
Saya ciumi buah dadanya, bergantian kanan dan kiri. Puting kecil itu memang
keras.
Juga gerakan wajar jika tangan saya kemudian mulai
membelai-belai pahanya, menyusup ke balik dasternya, merambat sampai
pangkalnya. Lagi-lagi Saya dibikin kaget. Hanya daster itulah satu-satunya
pakaian yang melekat di tubuh sintal Yuni. Saya tadi tak memperhatikannya.
Selangkangan berbulu halus itu telah membasah dan lembab. Yuni makin menggila.
“Ayo Kang. Sekarang… Aku mohon…”
Rangsangan saya sudah tinggi, tak ada lagi pikiran
jernih, gelap mata. Saya bopong Yuni menuju kamar saya, saya rebahkan tubuhnya
ke kasur. Secepat kilat Yuni melepas dasternya melalui kepalanya.
Tubuh coklat langsing sekal itu kini telanjang bulat
tergolek di kasur saya. Kedua belah dadanya memang bulat dan menonjol dihiasi
puting dan lingkaran aerola yang kecil menambah keindahannya. Bulu-bulu halus
di bawah perutnya terlihat rapi tanda terawat. Tubuh itu kini gelisah,
bergerak-gerak tak tentu. Pahanya sudah membuka lebar. Tunggu apa lagi?
“Ayo Kang…”
Secepat kilat Saya memelorotkan celana pendek saya
sekaligus dalemannya. Saya naik ke tempat tidur dan mengarahkan penis saya ke
selangkangannya. Kebiasaan saya kalau awal penetrasi lebih suka posisi
misionaris, sebab Saya bisa melihat ekspresi wajah lawan main saya ketika penis
saya mulai menusuk. Wajah dengan mata terpejam dan kepala sedikit mendongak
adalah pemandangan paling eksotis. Saya rebahkan tubuh saya menindihnya. Lalu
dengan gerakan agak kasar Saya menekan. Muka Yuni berkerut, dia menggigit
bibirnya sendiri, ekspresi seperti orang yang sedang kesakitan. Benar saja…
“Aaaww…
pelan-pelan Kang, aku udah lama banget engga …”
Memang, kepala penis saya serasa membentur tembok
walaupun Saya yakin dia telah lembab.
“Oh… maaf Yun…”
Lalu dengan sabarnya Saya perlahan membuat
gerakan-gerakan pendek maju-mundur untuk membuka ‘pintu’ yang sudah lama tak
pernah dimasuki. Memang agak susah, harus perlahan dan bertahap. Akhirnya
seluruh batang saya tertelan oleh vaginanya. Mulailah Saya ‘memompa’, masih
perlahan agar bisa lebih merasakan gesekan batang saya dengan dinding-dinding
liang vaginanya.
Milik Yuni begitu eratnya menjepit batang saya, persis seperti
milik istri saya pada awal-awal kami menikah. Saya jadi teringat sewaktu
berbulan madu dengan istri saya beberapa tahun lalu. Cerocohan ribut yang
keluar dari mulut Yuni pun sama. Beginilah rasanya. Hanya satu kata: nikmat!
Lalu Yuni? Sulit saya gambarkan. Gerakan tubuhnya
begitu liar, ekspresi wajahnya begitu ekstasi manjadikan dia tampak lebih
cantik dibanding biasanya. Itu tanda bagi wanita yang sedang merasakan
nikmatnya bersenggama. Rasanya Saya bisa lebih lama bertahan memompa, mungkin
karena tadi malam Saya sudah mengeluarkan dua kali ‘tabungan’ ke tubuh istri
saya setelah tersimpan selama 3 hari di luar kota.
Foto Bugil artis JAV Tsubasa Amami
Hingga beberapa saat kemudian…
Kedua tangannya mengunci amat erat di tubuh saya dan
tubuhnya saya rasakan berguncang-guncang teratur beberapa kali. Saya lalu
menghentikan pompaan, memberi kesempatan dia menikmati orgasmenya. Guncangan
lalu melemah seiring melemahnya kuncian tangannya. Lalu tangannya rebah ke
samping. Yuni terkapar.
“Terima kasih Kang… terima kasih…” katanya sambil
menciumi wajah saya.
“Gimana Yun…”
“Enak banget…”
Tubuh saya masih telungkup menindih tubuhnya, batang
saya yang masih tegang masih ‘tersimpan’ di dalam tubuhnya. Saya masih tak
bergerak walaupun Saya belum mencapai puncak. Sengaja untuk memberi waktu
kepada Yuni untuk menyelesaikan puncak hubungan seks, orgasme. Karena Saya tahu
berdasarkan pengalaman, wanita tak mau ‘diganggu’ bila sedang dalam masa puncak
dan beberapa waktu setelahnya. Syaraf-syaraf pada alat kelaminnya menjadi amat
sensitif ketika masa orgasme.
Tapi ketegangan penis saya mulai mengendur karena
masa pause begini. Saya harus mulai memompa lagi untuk meningkatkan ketegangan
batang saya. Lalu Saya mulai gerakan dengan memundurkan penis saya sedikit dan
menusuk lagi.
“Aaaahhh… Kang…” erangnya.
Saya terus saja memompa.
Mulutnya mulai berkicau
Makin cepat.
Gerakannya makin gila.
Saya melambung.
Melayang.
Beberapa detik kemudian…
Saya sampai.
Saya tumpahkan semuanya ke dalam tubuhnya.
Ya. Saya ejakulasi didalam tubuhnya. Tak terpikirkan
lagi untuk mencabutnya. Karena kedua kaki Yuni keburu menjepit erat pinggul
saya, dan lalu tubuhnya berguncang teratur seperti tadi.
Beberapa saat berlalu, baru Saya menyadari akan
akibat penumpahan ke dalam liangnya.
“Yun… Aku keluar didalam…”
“Engga apa-apa Kang… jangan khawatir”
“Maksudmu?”
“Aku masih
menyimpan spiral di dalam…”
Saya lega walaupun di kepala ini menumpuk banyak
pertanyaan seperti mengapa dia nekat begini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.